#Seri Akibat Memaki Tuhan [bagian --satu]

Akibat Memaki Tuhan

-------Untuk  Ayahku-----


////Satu



APAKAH Tuhan itu benar-benar pemaaf ?, mungkin itu yang pertamakali terlintas di fikiranku, ketika akhirnya aku berani memutuskan untuk sesaat menjadi liar dan berani.  Bukan berani yang biasa.  Aku memprotes kebijakan Tuhan.
Tak banyak yang bisa aku lakukan sebagai pribadi kala itu, mengurung diri pada kepura-puraan.  Melakukan sesuatu yang sebenarnya aku tahu itu salah. Ehmm dosa bahkan.
Kala itu, aku masih berusia remaja.  Terlahir di keluarga yang amat demokratis, membuat aku berfikiran sangat-sangat terbuka.  Tak hanya itu, literasi dunia tanpa batas ku telan menjadi wawasan.  Meski moderat, Ayahku memegang erat ajaran Muslim yang telah diwariskan secara turun temurun.
Begitulah, seperti yang ada pada bayangan banyak orang.  Tuntutan menjadi religius di permukaan amat menohok.  Bagai memenjarakanku dari macam-macam ideologi yang banyak aku kenal dari berbagai sumber.
Aku selalu resiten terhadap doktrin dan dogma.  Aku sebut itu proses belajar. “Bapak setuju, biar kamu tahu sendiri.  Itu hakikat beragama,” kata Ayahku, saat kuputuskan menjauh dari gerakan ulama tradisionalis, yang membudaya di keluargaku.
Pada tahap awal itu, aku memang menjauh dari hakikat benar dalam agama yang kupercayai sejak lahir.
Dengan dalih mencari tahu lebih dalam, bahkan aku berani menginterupsi kewajiban yang lama di sarangkan di pundakku.
Ya ..sebagai hamba katanya.  Anak muda mana yang dengan mudah percaya.  Dengarkan dan laksanakan.  Ini Agama atau bodoh-bodohan ?.  “Goblok, itu doktrin saja, pakai akal sehat dong,” itu kata-kata yang kerap kali keluar, saat ayat yang mestinya kupercayai di sampaikan.
Tak main-main, bentuk perlawanan ku pertegas.  Layaknya satanis yang juga benci setan.  Memuja Lucifer hanya simbol perlawanan terhadap dogma Ketuhanan yang di pertanyakan logika.
Waktu itu, persis begitulah yang kurasakan. Kulakukan.
Selain bodoh, mungkin sifat plin-planku juga dominan.  Atribut-atribut Ketuhanan, dengan berkelakar ku lucuti.  Cari perhatian, tunjukkan bahwa aku melawan.  Itu tujuannya.  Ya bagaimana lagi ?, sudah terlanjur dapat label resisten.

#Kota Kecil


SAYUP mega merah mulai nampak, suara azan  maghrib mulai berkumandang bersahutan.  Mengenakan sarung bermotif kotak-kotak, baju koko satu-satunya milikku ku gulung sampai batas lengan.  Setelah menggulung ujung sarungku.  Kurapikan kopiah warna putih, yang mulai kekuningan.
Kutarik seorang anak laki-laki berusia 10 tahunan, dan mendorongnya sedikit.
“Ayo nanda iqamah (tanda ketika shalat, akan dimulai),” sergahku pada bocah yang juga mengenakan sarung, namun agak kedodoran itu.
Sedetik kemudian, dengan pelafalan bahasa arab yang amat sederhana.  Suara Nanda memaksa, beberapa orang yang duduk diluar Musahala, beringsut masuk karena shalat akan segera dimulai.

Kira-kira begitu, aku habiskan masa remajaku pada tahap awal.  Tahun berganti, modernisasi merasuki otak kanan dan kiriku.  Bahkan hatiku.
Tempat bersarangnya iman itu, merubah paradigma, cara pandang seorang anak muda, yang selama ini erat memegang prinsip sebagai penerus generasi dakwah yang ‘agak’ kolot.
Sebelumnya aku mengangap hal-hal tertentu yang kalangan lain sebut itu, “Tak ada di zaman Rasul”, adalah seni.  Malahan. Ku sebut itu bentuk kebesaran Allah.
Parahnya, untuk beberapa alasan aku masih percaya, bahwa sang pembawa pesan berasal dari kalangan keluargaku. Iya. Itu dulu.

--------------------------bersambung.



Lebih baru Lebih lama