Kopi Terakhir Bapak

Andai saja aku tahu, bahwa itu terakhir kalinya pasti aku tak akan menolak.   Penyesalan seperti tidak pernah habis menghampiriku setiap kali memandang secangkir kopi.  Masih hangat di ingatanku kala suara gemetar bapak menyergah dan membubarkan keasikanku mengulik sebuah gitar di kamarku.

Waktu itu siang hari, hujan turun begitu deras, nampak seorang tua dengan rambut putih berpotongan cepak rapi ciri khas seorang tentara sedang duduk menaikkan sebelah kakinya kekursi.  Sambil memandangi hujan dibalik jendela kaca yang setengahnya tertutupi kain gordyn bermotif bunga.
“Naak , kamu ngapain, sini bapak mau denger kamu nyanyi,” samar – samar kudengar suara orang tua itu dari balik pintu kamarku.
Sementara aku mengabaikannya dengan terus menempelkan jariku pada papan tekan gitar.
Lima menit kemudian, suara petir mengagetkanku.  Aku bersuara lantang seperti kucing yang terinjak ekornya.
Kudengar sayup orang tua itu terkekeh mendengar teriakanku yang hampir menyerupai anak perempuan yang ditinggal sendiri ditempat gelap itu.
Aku menggerutu dalam hati.  Saat ku loloskan sedikit kepalaku keluar kamar.  Tiba- tiba, “Bikinkan bapak kopi nak, enak ini hujan-hujan dingin gini kita ngopi,” sontak suara pelan nya itu pun mengagetkanku dan aku terlonjak keluar kamar.
Lagi-lagi ia justru tertawa melihat tingkahku.
Dengan kesal aku bangun dan duduk di kursi yang ada didepannya.  Ia memgang kepalaku dan menghamburakn rambutku dengan mengacak-acaknya.
“Ish apaan sih pak, “ aku melengos.
Kulihat dia hanya menarik senyum dibibirnya, lalu berkata.
“Kuliahmu cepat diselesaikan ya nak, biar cepat dapat kerja,” baru saja ia akan membuka mulutnya untuk melanjutkan kalimatnya, dengan kecepatan angin aku merangsek dan memotong kalimatnya ,” aku nda mau jadi karyawan kaya bapak, kerja sampe tua, ndak ada kemajuan, kerja diatur-atur sama orang, aku mau jadi musisi pak,” sergahku.

Ia menyeringai, “Iya , ndak papa ndak usah jadi karyawan kaya bapak, yang penting selesaikan dulu kuliahmu itu secepatnya, jangan banyak buang waktu untuk hal yang tidak berguna.  Jadi musisi kan juga butuh manajemen,  jadi kuliahmu itu penting,” katanya lagi.
Tak menjawab, aku hanya mengikuti gerakan bibirnya.  Iya aku sudah hafal dengan dialog nasehat ini. Rasanya sudah ribuan kali aku mendengarnya.
Lalu ia hanya mengetuk bibirku dengan jarinya.
Lalu ia melanjutkan dengan dialog yang juga sudah kuhafal setiap kata-katanya.
“Nanti kamu harus jagain mamak, kasian dia Cuma punya kamu,”   Ia terus melanjutkan nasehatnya. Tapi yang kudengar hanya ,bla bla bla bla bla,,..
Lalu aku memotong lagi.  “Iya iya pak, tadi mau kopi kan ?. aku buatin sekarang ya,” aku bicara sambil berlalu.
Ketika menuju dapur, tiba-tiba ponselku berbunyi.  Seorang kawan menelphonku, dari ujung telpon terdengar suara bising , “ woyy latihan sekarang, lupa kah ? “ .. ah iya aku baru ingat hari ini aku ada jadwal latihan bersama teman bandku.
Arah jalan ku alihkan menuju kamar, kusahut gitarku, kumasukkan kedalam tasnya, lalu aku bergegas menuju garasi.  Dengan mengandalkan  jashujan aku segera memacu sepeda motorku menuju studio tempat aku akan latihaan.
Ketika melintas didepan rumah, terlihat bapakku masih disana, lalu melambaikan tangan.
Aku hampir tidak bisa mendengar suaranya karena bising suara hujan, ditambah dengan helem yang kupakai menutupi telingaku.
Tapi samar aku mendengar, “hati-hati, kopi bapak mana ? “.. aku hanya menunjuk kearah dapur dan langsung berlalu.
_______Sesal__________
Tiga hari kemudian, mataku bengkak, karena aku tak berhentinya menangis.
Aku terduduk tanpa alas didepan sebuah makam.  Kalau boleh aku ingin menemani jenazah didalam makam itu.  Setiap hari hatiku terasa sangat hancur.  Entah mengapa, tapi setiap malam bapak masih saja datang ke mimpiku.  Dengan mengucapkan kata-kata nasehat yang sama.
Entah sudah berapa gelas kopi yang aku minum.  Entah sudah berapa tetes air mataku yang berderai tak habis. Sungguh andai saja sesalku dapat tertolak.
Aku begitu remuk kala tengah asik memainkan lagu kesukaanku, ponselku yang sejak tadi berbunyi tak kuhiraukan itu akhirnya ku ambil. Dengan malas-malasan saat ku lihat dilayar nama Ibu menelphon ku.
Kucoba saja menjawab telepon itu. Tidak banyak kata yang kudengar dari ujung telphon. Hanya suara tangis yang menggelora.  Aku bingung. “ma, kenapa, mama kenapa,” tangisnya makin nyaring. Sedetik kemudian ia berkata “ kamu pulang sekarang ya nak “ .
Masih bingung, aku hanya menutup telphon dan berjalan bak zombi menuju parkiran.
Kupacu motorku menuju rumah.
Heran , kupandangi halaman rumah dipenuhi tetangga, dan mobil-mobil yang terparkir memenuhi jalan.
Sisa air hujan yang tertinggal di dedaunan dan membuat udara menjadi dingin.
Saat langkahku makin dekat, kudengar lantunan  ayat suci bergema di ruang tamu.
Aku masih bertanya, ada apa sebenarnya.


Aku beranikan langkahku semakin mendekat.  Ibuku dengan mata yang sayu dan merah, menarik tanganku.  Sekelebat aku dapat melihat sosok bapakku terbaring ditengah kerumunan orang –orang.
Ibuku mencoba membawaku ke kamarnya.  Aku meronta. “Ma, Bapak kenapa, bapak kenapa,”  hampir saja aku membubarkan kerumunan orang yang sedang mendoakan bapakku.
Dari cerita ibuku, akhirnya aku tahu.  Lima menit setelah aku pergi, bapakku yang punya trauma dengan suara petir, terkena serangan jantung akibat hantaman petir yang terdengar sangat nyaring waktu itu.
Nyawanya tak tertolong karena tidak sempat mendapat pertolongan dalam waktu cepat.
Mendengar cerita itu, aku tak hentinya menyalahkan diriku.
Andai saja aku tidak pergi, mungkin bapak masih hidup saat ini.
Segelas kopi yang dimintanya pun tak sanggup aku berikan.  Padahal ia menghabiskan separuh hidupnya untuk memastikan aku tetap hidup, aku bisa belajar, aku bisa menikmati banyak hal didunia ini.
Segelas kopi, yang selalu kusesali, mengapa aku tak bisa membuatkannya untuk orang yang paling banyak jasanya untuk hidupku.
Diusiaku yang seharusnya sudah bisa memberikan sesuatu untuknya, namun aku justru dengan egoisnya terus membebaninya dengan semua tingkah kekanakanku.
Teringat ketika, ia amat bersikukuh untuk memasukkanku kesebuah Universitas dengan jurusan teknik, namun aku dengan berlenggang kangkung memamerkan hasil tes uji masuk di Universitas lain dengan jurusan ekonomi yang menurutku jauh lebih keren.
Tapi ia pandai sekali menyembunyikan kekecewaanya.
Bahkan ketika aku mulai memasuki semester akhir namun aku mulai malas menyelesaikan kuliah, dan justru ingin fokus bermain musik, ia malah memberiku sebuah gitar mahal yang sudah lama aku inginkan.
Setelah semua itu.  Satu gelas kopi pun tak sanggup aku memberikannya.
Satu gelas kopi dengan sedikit gula yang sangat disukainya.
Namun tak sekalipun aku membuatkannya.
Satu gelas kopi yang telah mengingatkanku bahwa, jangan pernah meremehkan orang yang mencintaimu dengan tulus.  Karena kita tidak pernah tahu, sampai kapan dia akan terus bersama kita.



*Naskah Asli dan Bukan Saduran.
Ditulis oleh : Rusdianto ( 05/08/16)

Diangkat dari pengalaman pribadi penulis, dengan penyesuaian.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Lebih baru Lebih lama