Borneo Paper - Dayak merupakan salah satu suku yang ada di Kalimantan, sebuah suku yang memiliki keagungan warisan budaya, salah satunya adalah budaya sastra atau tulisan, banyak yang bertanya apakah orang Dayak mengenal tulisan. Mengutip tulisan apik dari Blog Folksofdayak , berikut penjelasannya.
Menjawab pertanyaan diatas..
tentu hampir semua orang akan menjawab TIDAK, sebab selama ini kita dibuat percaya bahwa sejatinya orang Dayak tidak mengenal system tulis menulis. Namun apakah demikian? Menariknya dalam salah satu legenda yang dituturkan oleh kaum Dayak Kadazan di Sabah yaitu “TULISAN YANG HILANG” dituturkan bahwa dahulu mereka mengenal system penulisan namun ketika datangnya banjir besar yang melanda dunia membuat semua system tulisan ini hilang dan terlupakan. Demikian juga kita dapat melihat dari kaum Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dengan adanya artifact “SOLEP” yaitu bentuk iconografik yang dituangkan pada media bamboo juga adalah bentuk tulisan-tulisan Purba.
Solep |
Ini diperkuat dari pernyataan Prof. de la Couperie yang mengatakan bahwa “among the several writings which used in Borneo two have left interesting relics and survival” – “diantara beberapa system penulisan yang digunakan di Kalimantan ada dua hal yang tersisa yaitu relic dan kebertahanannya” – dengan artian begini bahwa orang-orang Dayak pada suatu masa mengenal system tulisan yang saat ini sudah tidak mereka fahami lagi dan masih tersisa didalam bentuk-bentuk ornament tertentu seperti yang ada tertuang didalam SOLEP (ukiran-ukiran dibambu) yang saat ini maish tersimpan di Museum London dan Belanda merupakan bentuk-bentuk huruf purba yang masih bertahan (atau survive)namun kemudian hal ini dilupakan. Hal ini juga serupa dengan bentuk-bentuk inskripsi tulisan yang ditemukan pada tempayan-tempayan kuno (saat ini masih tersimpan di Museum Dresden), tempayan ini bukanlah hasil buatan china tetapi dibuat di Kalimantan dengan ornament Naga dan dibagian bawah tempayan ini terdapat bentuk-bentuk tulisan purba. terkait legenda kaum Dusuni Sabah diatas juga ada kisah legenda “Gagarit” dalam kebudayaan Dusunic. Gagarit adalah “Garis-garis/ Calar” yang merujuk pada batu atau kayu yang dicalar untuk sesuatu kemungkinan untuk menuliskan abjad
Tulisan di Bawah Tempayan |
Memang kita akan dicekekoki pelajaran sejarah masa sekolah, bahwa Nusantara memasuki masa sejarah ketika Kerajaan Kutai yang sudah diperkenalan system penulisan dari India dengan ditemukannya prasasti Yupa. Sistem tulisan ini sama dengan yang digunakan di Kamboja (huruf Pallawa), Jawa Timur dan dibeberapa tempat lain.
Namun cukup menarik tidak hanya system huruf pallawa, sekitar tahun 977 M dalam catatan Kerajaan China, pernah ada surat yang dikirimkan oleh seorang Raja bernama Hiangta dari Puni (daerah di pantai barat Kalimantan) kepada raja China. Surat ini dilampirkan pada suatu tas kecil yang disegel dan tidak dituliskan pada media kertas tetapi pada sebuah kulit kayu yang tipis; berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang beberapa cm dan lebar kurang lebih dari 2.5 cm. Karakter tulisan ini ditulis sangat kecil dan harus dibaca secara horizontal kemungkinan tulisan in dituliskan dalam Bahasa China oleh orang Dayak.
Selain itu juga orang ditemukan sebuah keris yang dibuat dibagian tenggara Kalimantan yang terdapat inskripsi tulisan (Saat ini keris ini berada di Museum Leiden) Keris ini cukup berbeda dengan keris Jawa pada umumnya, terbuat dari baja dari bilah hingga gagangnnya. Tulisan digagang ini kemudian diketahui adalah tulisan India yang jika dibaca tidak memiliki makna namun hanya sebuah bentuk rajahan.
Secar purba orang Dayak juga mengenal system Sandi yang disebut TOTOK BAKAKA dalam Bahasa Dayak Ngaju. Totok Bakaka adalah sandi atau bahasa isyarat yang pada awalnya hanya dimengerti masyarakat suku Dayak Ngaju. Penggunaan Totok Bakaka sejak jaman dahulu banyak manfaatnya, mulai dari pernyataan perang, minta bantuan saat bahaya, larangan masuk atau melintas, bahkan untuk sekedar menunjukan status sosial dalam masyarakat. Berikut beberapa contoh TOTOK BAKAKA yang dituliskan dalam buku Tjilik Riwut:
- Lunju (Tombak).
Mengirim Tombak yang telah di-jernang, maksudnya tombak yang diikat dengan rotan yang telah diwarnai merah berarti pernyataan perang. - Lunju Bunu.
Mengirim Tombak yang pada mata tombaknya telah diberi atau ditandai dengan kapur, berarti mohon bantuan sebanyak mungkin karena bahaya besar sedang mengancam. Contoh : Saat Nyai Undang akan diserang Raja Laut dari Kepulauan Mindanao, Beliau mengirim Lunju Bunu kepada kepada kerabatnya minta bantuan - Abu.
Mengirim Abu berarti ada rumah terbakar. - Seruas Bambu yang Terisi Air.
Mengirim Seruas Bambu yang terisi air, berarti pemberitahuan ada seorang yang telah meninggal dunia karena tenggelam, biasanya tanpa menyebutkan nama korban. - Kirim Cawat yang Telah Dibakar Ujungnya.
Mengirimkan cawat yang ujungnya telah dibakar berarti pemberitahuan bahwa seorang keluarga yang telah berusia lanjut meninggal dunia. - Kirim Telur.
Mengirim Telur berarti pemberitahuan bahwa telah datang seorang yang berasal dari jauh masuk kampung mereka untuk menjual balanga, tempayan dan tajau. Benda-benda tersebut dianggap istimewa karena memiliki nilai sakral dan menunjukan status sosial dalam masyarakat. - Kinangan (sirih pinang).
Mengirim kinangan kepada suatu keluarga berarti akan meminang salah satu anak gadis dalam keluarga tersebut. Pengalaman dan pengamatan penulis di Palangka Raya dan sekitarnya, jika ingin meminang seseorang maka pihak yang akan meminang mengirim uang (duit pangumbang) kepada pihak yang dipinang. Jika uang tersebut diterima disertai undangan untuk bertamu guna pembicaraan lebih lanjut itu artinya pinangan diterima, jika uang tersebut dikembalikan maka artinya pinangan ditolak. - Daun Sawang.
Bila masuk pada suatu kampung dan menjumpai sebuah rumah yang pada pintunya ditemukan daun sawang yang diikat tali dan ditandai dengan kapur sirih, berarti dilarang masuk. Sekalipun hanya sekedar untuk bertamu, sebaiknya urungkan niat memasuki rumah tersebut karena keluarga dalam rumah tersebut sedang berpantang menerima kehadiran siapapun juga mengunjungi rumahnya karena sedang menjalani larangan adat “Hinting Pali“. - Salugi.
Salugi ialah tiang yang terbuat dari bambu runcing, dipasang miring dan merupakan salah satu rambu-rambu lalu lintas belukar. Hal ini menunjukkan bahwa arah miring yang ditunjukan oleh ujung bambu berarti berhati-hati, karena di arah tersebut sedang dipasang “Dondang” yaitu alat perangkap yang digunakan untuk menangkap dan membunuh babi hutan, dan kijang. Bila di kebun buah yang sedang berbuah ditemukan salugi yang telah digaris dengan kapur dan diletakan diantara pohon-pohon buah, berarti larangan memungut buah-buahan yang ada dalam kebun tersebut, karena buahnya akan dinikmati sendiri oleh pemiliknya. Selain menggunakan Tombak Bunu, mengirim salugi juga berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
Dalam budaya Dayak Kayan juga mengenal ini mereka mengrimkan sandi menggunakan simpul-simpul rotan atau disebut TEMUKU TALI, dan dengan simpul tali rotan ini juga mereka menandakan jumlah hari, misal jika mereka mengirimkan 30 buah simpul berarti 30 hari .
Disamping symbol-simbol diatas, orang Dayak juga mengenal tattoo. Tattoo-tattoo ini tidaklah dibuat hanya sebagai hiasan ornament tubuh tetapi menyimpan cerita perjalan orang yang ditattookan tadi, semisal kaum dusunic sabah akan mentattoo tubuhnya untuk jumlah kepala yang dipotongnya atau dikalangan Benuaq tattoo dibagian jari menunjukan bahwa orang tersebut adalah pengerajin / pengukir, atau pada kaum Murut jika dia lari mundur dari serangan musuh, maka ia akan ditattookan dibagian belakangnya sehingga beberapa ahli juga mengatakan bahwa sejatinya system tattoo / rajah tubuh di antara orang Dayak adalah sejatinya bentuk penulisan menggunakan symbol.
Demikian juga perkembangannya ketika Orang Dayak berjumpa dengan budaya Melayu dan Arab, ia kemudian juga diperkenalkan dengan system penulisan-penulisan arab yang juga sering tertuang dalam bentuk rajahan-rajahannya. Memang seperti contoh diatas yang kita lihat orang tulisan yang dikenal orang Dayak masa lalu adalah tulisan hasil perjumpaan dengan kebudayaan lain seperti China, India, arab. Namun demikian bentuk-bentuk tulisan purbanya masih dapat kita jumpai pada ornament-ornamen yang unik yang masih tersimpan pada media-media seni ukir, anyaman maupun tattoonya. Bentuk tulisan purba ini adalah bentuk-bentuk logographic yang dikenal dalam kebudayaan Mesir kuno ataupun Aztec – namun kemudian ada suatu masa dimana kemudian bentuk-bentuk tulisan ini terlupakan.
Memang ada upaya yang dibuat untuk menciptakan bentuk tulisan sendiri seperti tulisan Dayak Iban yang dibuat pada tahun 1947 oleh Dunging Anak Gunggu (1904-1985) atau disebut URUP DUNGING yang terdiri dari 77 karakter huruf, namunpun demikian sistem tulisan ini tidak begitu berkembang dalam kalangan ibanic sendiri. Juga ada upaya yang dilakukan seorang profesor Dusunic Prof. Dr. Ilyas di Sabah untuk menghidupkan dan meneliti budaya Gagarit, dia menciptakan bentuk tulisan Dusunic
GAGARIT |
Urup Duging |
Cukup menarik bukan?? Menarik dikaji mengapa bentuk tulisan dan logographic ini kemudian terlupakan (bukan punah) sebab dia masih preserved dalam ornamen-ornamen seninya. Kalau mengacu pada semua kisah legenda Dayak kita memang menemukan kesamaan benang cerita yaitu masa banjir besar. Setelah masa banjir besar inilah yang kemudian juga yang menyebabkan terjadinya perbedaan bahasa dikalangan rumpun Dayak.
Dikutip dari : https://folksofdayak.wordpress.com/2016/09/20/adakah-orang-dayak-mengenal-tulisan/comment-page-1/#comment-1929 (link aktif ada di bagian awal tulisan.)
Rusdianto.